Senin, 21 Oktober 2013

Sleepless Night in Bangkok



Mie gelas dan laptop menemani sleepless night saya ehehe ;p

Malam sudah terlalu tua dan saya terjaga lalu merasa disorientasi waktu. Jam berapa? masih malam atau sudah pagi. Saya  memerlukan beberapa menit untuk sadar akan waktu. Mikir lama juga ini jam berapa? tenyata masih tengah malam. Rasanya saya sudah tidur lama sekali, kemudian terjaga padahal baru tidur selama 3 jam saja. Ah mungkin kena jetlag. Di Glasgow masih jam 6an sore, dan jam biologis saya masih ikut ritme Glasgow.Tubuh saya mulai kerepotan mengikuti pergerakan ruang dan waktu ehehe. Setelah sia-sia usaha untuk kembali tidur, saya menyibakkan lagi tirai jendela dan membuka laptop. Kerlip kerlip lampu gedung-gedung tinggi di seberang sudah mulai berkurang, namun sesekali MRT masih melintas. Entah sampai jam berapa kendaraan ini berhenti beroperasi.
Ah saya kelaparan lagi, selain jam biologis ternyata kebutuhan biologis saya juga rewel. Mungkin perut saya menuntut jatah makan malam yang harusnya jam-jam segini di Glasgow. Untung saja saya tadi sore membeli semacam mie gelas di toko kelontong seberang hotel. Dan jadilah mie gelas dan pemandangan malam langit Bangkok cukup menghibur saya.
Ah betapa saya seringkali harus berkompromi dengan waktu.Penerbangan dari Glasgow menuju Dubai, kemudian dilanjut ke Bangkok dengan total perjalanan sekitar 15 jam-an itu merusak tatanan waktu saya. Waktu di pesawat kadangkala hanya ditentukan dengan kapan waktu makan, karena waktu semuanya hampir sama saja. Duduk diam, kadang menonton film, mendengarkan musik, membaca buku Aleph-Paulo Coelho yang sengaja saya bawa untuk mengisi waktu, selebihnya saya habiskan untuk tidur. Saat sampai Dubai saya tidak mengganti waktu saya dengan waktu lokal karena saya hanya transit sebentar, kemudian saat sampai Bangkok saya tinggal mengubah otak saya untuk berpikir seperti waktu Indonesia. Karena waktu di Thailand sama dengan waktu di Indonesia.
Ah lihatlah betapa waktu begitu ambigu.
Tentu saja ini bukan perjalanan kali pertama saya menerobos ruang dan waktu. Bahkan saat saya pamit pada ibu saya, reaksi beliau itu sudah seperti saya pamit pergi ke Purwokerto atau Jogyakarta. Intinya berpesan supaya hati-hati dan mendoakan selamat di perjalanan. Beliau tidak pernah repot menanyakan bagaimana nanti saya yang belum pernah ke Thailand untuk survive, sendirian pula. Tidak tanya nginep dimana, atau cerewet hal-hal lainnya. Dari dulu juga begitu. Ah mungkin beliau terlalu sering saya pamiti pergi. Dan mungkin saya memang sudah terbiasa pergi.
Oh ya tadi seseorang di twitter mention saya dan bertanya : sudah berapa negara yang dijejaki mba? *I envy you. Begitu katanya.
Berapa banyak? Ah belum terlalu banyak. Dan sebenarnya nggak diitungin juga sih, berapa kota berapa negara yang sudah saya jejaki. Bagi saya bukan hal yang terlalu penting. Bukankah ukuran perjalanan bukan dilihat dari banyaknya tempat yang kau kunjungi?
Suatu saat mungkin travelling bukan hal yang menarik dan menggoda seperti dulu lagi. Ini serius, setidaknya ini yang terjadi pada saya. Saya sedang tidak ingin memaksakan rasa. Ada apa dengan saya yang dulu haus petualangan menjelajahi tempat baru-baru, melihat semuanya dengan penuh antusiasme, merasai hal-hal yang baru? apa ada yang berubah dengan diri saya?
Manusia terus berubah tiap detiknya, setiap sel-selnya berubah, saya bukan lagi sama seperti saya yang bicara beberapa waktu lalu. Tapi kadang-kadang manusia menuntut kesamaan. Betapa sering ia bicara “jangan pernah berubah”. Tapi bukankah berubah itu alamiah? Seperti siklus semesta terus berubah.
Travelling memang masih menarik bagi saya. Ada excitement yang selalu terpicu saat memulai petualangan baru. Tapi hanya saja tidak seperti dulu lagi. Mungkin aliran energi saya saat ini lebih terfokus untuk hal-hal lainnya lagi. Dan biarkan saya menikmati perubahan tanpa bermaksud untuk menahannya.
Tapi setidaknya kali ini saya akan pulang bertemu dengan keluarga yang lama nggak bertemu muka setelah konferensi di Thailand. Walau hanya seminggu saja pulang ke Indonesia. Ahaha jadwal macam apa ini? Bukankah sepertinya hidup saya habis capek di perjalanannya saja. Mungkin terasa demikian, 2 minggu rute Glasgow-Bangkok-Indonesia, lalu rute pulang juga Indonesia-Bangkok-Glasgow. Mengakalinya tentu saja dengan mengangap perjalanannya itu bagian dari jalan-jalan. Banyak orang hanya melihat destinasi perjalanannya sebagai bagian inti dari perjalanan, tapi mengindahkan perjalanannya. Saya mencoba menikmati penat-penatnya di pesawat, bandara, stasiun, jalan-jalan karena itu juga bagian dari perjalanan. Termasuk efek efek seperti jetlag sekarang ini ehehe. Sleepless night in Bangkok. Setidaknya bisa menghasilkan saya postingan ini. Postingan yang mungkin saja random. Tapi sukses membuat saya mengantuk lagi. Sudah mendekati jam 3 dini hari, sebaiknya saya kembali mengatupkan mata karena kalau tidak besok saya akan ngantuk ngantuk di konferensi hihi.
Masih ada yang menyelinap di pikiran saya. Betapa manusia sulit untuk memusatkan diri pada Here and Now. Pada “the present”. Karena waktu yang benar-benar nyata adalah saat ini, namun manusia seringkali berkelana antara past dan future berganti-ganti, tapi mengindahkan hidup yang paling nyata.
Hidup paling nyata adalah saat ini, Here and Now.
Selamat malam, pagi, ataupun siangmu saat ini. Selamat menikmati hidupnya yang paling nyata. Here and Now.

Bangkok menjelang pagi. 21 October 2013.

Minggu, 20 Oktober 2013

Menjejaki Bangkok



Kerlap kerlip lampu di gedung-gedung tinggi dari skyline Bangkok  terlihat jelas dari balik jendela kamar hotel. Sesekali kereta MRT yang melintas terlihat jelas dari jendela. Sementara purnama membulat di langit Bangkok rasanya menambah cantik pemandangan malam ini. View dari kamar hotelku ini memang sempurna. Saya cukup beruntung mendapatkan view langsung ke arah kolam renang dan skyline penuh kota ini. Dari lantai 14 Hotel Imperrial Queen’s Park di 199 Sukhumvit Soi 22, pemandangan kota Bangkok tertangkap sempurna.

Jepretan dari balik jendela kamar hotel saya sore tadi

Menikmati secangkir kopi, sederet musik di playlist dan berbagi sapa dengan  pasangan saya via skype (yang selalu saja malas menghapal perbedaan waktu) merupakan aktivitas saya hari pertama ini. Karena rasanya pemandangan cantik ini sayang bila dinikmati sendirian. Heuheuu dan sayangnya saya memang kali ini menjelajah Thailand sendirian. Kadangkala saya ingin membagi apa yang saya lihat dengan orang-orang terdekat saya. Pengen juga bisa membuat mereka menikmati apa yang saya lihat. Ah biarlah kali ini baru lewat tulisan dan cerita saja.
Kereta MRT terlihat melintas lagi. Sejauh saya mencobai mode transportasi di kota ini, cukup lumayan nyaman. Bermodal tanya-tanya dari bandara Suvarnabhumi ke daerah Sukhumvit, saya menjajal airport rail link lalu turun ke stasiun Makkasan. Harga tiketnya sekitar 35 Bath. Lumayan view-nya langsung bisa melihat kota Bangkok dari jendela-jendelanya yang luas. Lalu tadinya saya hendak naik taksi saja dari situ, tapi akhirnya memutuskan naik MRT. Keputusan itu hasil bincang bincang sejenak dengan seorang perempuan muda Thailand ia menyarankan untuk naik MRT karena taksi bakal mahal dengan macet parah saat jam-jam sibuk. Akhirnya saya pun naik MRT dengan tiket 15 bath ke Sukhumvit. Aih ternyata nyaman juga transportasinya. Keren dan canggih deh. Saya udah ngebayangin naik tuk tuk aja eh ternyata fasilitas transportasinya lumayan. Lalu turun dari sukhumvit saya naik taksi menuju hotel tempat saya menginap sekaligus tempat konferensi. Yupiee tentu saja jalan-jalan saya ke Thailand terselubung ikutan konferensi. Modus biar dibayarin dong ya ehehe. Makanya tiket PP Glasgow-Bangkok plus hotel selama konferensi sudah diurusin pihak kampus. Dan begitu nginjek di hotelnya, heuu ini sayang amat ya sendirian dududu mendadak rinduuu #apasih. Maksudnya ini semacam pemborosan, karena saya yang cuma 1 orang namun ditempatkan di kamar yang hampir kayak 1 rumah. Ada 2 ruangan besar. Ruang tamu, wardrobe, meja kerja yang menghadap ke jendela, dan kamar mandi, sementara melangkah ke dalam ada big bed, meja kerja, dan kamar mandi lagi. Garuk-garuk ini lemari dan kamar mandi banyak amat ya. Kan sebenarnya kamar ini bisa dihuni 4-5 orang ahaha. Yah anggap saja berkah. Terbukti suasana yang sebenarnya super romantis ini sanggup membuat mata saya tetep melek dan nulis. Habis sayang purnama di kejauhan bila dilewatkan.

Master bed room

Ruang tamunya
lemarinya berderet-deret dan kamar mandi di baliknya. 

Masih belum sempat jalan-jalan. Hanya nyari makan di luar dan bingung ahaha. Akhir-akhirnya beli di lesehan macam di Indonesia. Nasi, ayam dan lele bakar plus rujak. Totalnya 80 bath dan perut saya kekenyangan. Sepintas melihat daerah Sukhumvit ini sepertinya memang daerah turis karena banyak bule-bule berseliweran dan yang mencolok adalah banyaknya tempat-tempat spa dan pijat dimana-dimana. Di Soi 22 saja sepanjang jalan berderet-deret tempat pijat. Jangan tanya apa itu ada pijat plus-plusnya atau tidak, mana saya tahu hihihi. 
jalanan kala malam-nya mirip Indonesia banget
tuuuh tempat pijatnya berderet deret :D

Mata saya sudah mulai berat, penerbangan Glasgow-Dubai-Bangkok lumayan membuat penat. Kopi di cangkir saya juga saya habis disesap dan kasur di ruangan sebelah sudah menggoda saya. Baiklah saya tergoda untuk segera menghampirinya. Karena esok pagi-pagi sudah harus menunaikan tugas dinas dulu sebelum jalan-jalaaaaan.

Sukhumvit, Bangkok. 20 Oct 2013

Jumat, 11 Oktober 2013

Dua Dekade



Kamu akan tahu suatu saat cinta tak lagi muda,
Ia bukan lagi cinta kemarin sore, yang malu-malu dan merah merona saat di dekatmu.
Walau terkadang masih saja begitu dengan alasan yang tak pernah kutahu.
Mungkin benar, bahwa cinta bisa terbaca dari secangkir teh atau kopi yang kusiapkan untukmu.
Bahwa mungkin saja benar, tak perlu banyak kata. Hanya cinta yang diselusupkan dalam rasa tiap masakan yang kau lahap itu
Dan mungkin saja tak salah, bahwa cinta itu tak lagi melulu soal tawa, canda.
Aku yang diam-diam merajuk, kesal hati tapi masih saja berkata “ obatnya jangan lupa diminum” dan mengambilkan segelas air putih untukmu.
Kita dan gelombang emosi yang berarakan tiap harinya. Tapi kenapa selalu tangan kita bergandeng bersama.
Dua Dekade.
Dan bilapun dua dekade lagi, mungkin masih saja kadang kupandangi engkau dari jarak sepersekian meter, dan kutanya pada hatiku : “apa yang membawaku menjatuhkan hati padamu?”
Bila cinta sudah tua suatu saat. Masih ingin kubawakan secangkir teh yang kau minum cepat-cepat. Lalu kuprotes untuk kesekian kalinya. “minum teh itu dinikmati setiap sesapannya, biar terasa rasanya. Bukan kayak minum air putih”
Lalu kau bilang : “Sudah kudengar seribu seratus tujuh kali” sambil tersenyum jahil.
Dan bila cinta sudah tua suatu saat. Mungkin rasa biasa menjadikan kita mencari-cari cinta yang dulu menggelora. Kemana perginya?
Bila saat itu datang mari kita cari bersama-sama.  Mungkin kita akan belajar mengolah cinta seperti adonan roti, yang harus terus dibuat lagi. Diperbaharui lagi.
Dua dekade
Aku tidak mau menghitung angka-angka.
Kebersamaan mungkin lebih banyak bicara tentang senyuman yang kita bagi bersama. Tentang masalah yang kita hadapi bersama. Tentang hidup yang banyak memberikan kejutan pada kita. Tentang kenang yang tersimpan di hati kita.
Tentang hari ini, detik ini.
Kita.
Itu saja.
***


Bila dua tahun..humm tiga tahun ini dikorelasikan dengan dua dekade, tiga dekade. Suatu saat kau akan mengerti betapa ambigunya waktu.

With Lots of Love
--

Jumat, 04 Oktober 2013

Tentang Cukup


 

Kira-kira sebulan yang lalu, sahabat saya bertanya tentang satu hal. Di sela bincang-bincang hangat di flat saya,
            “ Mba, kalau ada tempat yang ingin banget kamu kunjungi, mana mba? “ tanyanya sambil tetap selonjoran di karpet flat saya. Sementara spring roll hangat penuh sepiring semakin menghangatkan bincang-bincang kami.
Saya terdiam beberapa saat. Berpikir sejenak. Mana ya? Pikirku.
            “ Humm, mana yaa..nggak ada lagi kayaknya,” jawab saya pada akhirnya setelah belum juga menemukan jawabannya. Tempat mana yang paling ingin saya kunjungi sekarang? Saya tidak bisa menemukan jawaban. Tidak ada.
Memang ada sih satu tempat yang ingin saya kunjungi bersama pasangan saya. Tempat yang anehnya saya tahu “tidak terlalu bagus”, atau bisa dikatakan tidak sebagus di foto-foto itu. Tapi sepertinya memang tempat itu serupa tempat yang wajib dikunjungi. I want to be there someday.
Tapi bukan serupa keinginan meletup letup seperti dulu saat saya ingin menginjakkan kaki di San Siro, ataupun menjejakan diri di daratan Inggris. Bukan sejenis keinginan seperti itu.
Saya sekarang lebih ingin berada dimanapun asal bersama pasangan saya, ataupun sekadar liburan bareng bersama keluarga. Sejenis keinginan yang mungkin terdengar tak “mewah dan mengkilap”, bukan semacam keinginan-keinginan gila seperti menjejakkan kaki di antartika, menikmati pantai-pantai Maldives, mencicipi pesona Santorini di Yunani atau di benua-benua yang belum sempat saya jelajahi. Tapi bagi saya, berada bersama pasangan ataupun keluarga  itu sudah super mewah.
Saya bilang pada sahabat saya itu, mungkin saya sudah cukup dengan keinginan-keinginan pribadi. Dengan pencapaian-pencapaian pribadipun saya pikir sudah cukup. Tsaah berasa sudah simbah-simbah ya ehehe. Bukan berarti saya sudah hidup tanpa obsesi lagi. Saya masih ingin segera merampungkan studi doktoral saya, melahirkan kembali buku-buku, masih ingin menjelajah berbagai daratan eropa dan benua-benua lainnya, terlebih lagi menikmati keindahan Indonesia. Pun menikmati menjalani beberapa profesi sekaligus tanpa merasa sibuk.
Saya masih student fulltime doctoral degree di University of Glasgow, masih aktif  menulis, masih jadi editor Gramedia Pustaka, masih jadi kontributor Wego Indonesia, masih iseng-iseng seperti jadi model brosur kampus, jadi guru ngaji anak-anak pengajian Glasgow, dan masih ngeiya-in tawaran bisnis cetak masal kerjasama dengan sahabat saya. Tapi saya jarang merasa sibuk hihi..
Akhir-akhir ini saya merasa “cukup”. Ah bukan akhir-akhir ini, tapi sudah agak lama juga saya merasa “cukup”.
Saya merasa cukup dengan hidup saya. Menikmati apa yang ada. Walau kadang-kadang tak bisa menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup. Tapi sepertinya menikmati pertanyaan itu juga bagian dari hidup, tanpa tergesa-gesa menemukan jawaban.
“life is too short to be wasted finding answers, Enjoy the questions! Kata Paulo Coelho
Mungkin jawaban akan datang dengan sendiri, selama kita terus berjalan. Berjalan ke dalam diri. Dalam perjalanan saya, mungkin saatnya lebih banyak memfokuskan diri menggali ke dalam. Perjalanan saya ke luar diri rasanya sudah cukup.
After deeply feel enough then stop searching outside start digging inside (GP)
Cukup
Saya masih belajar di jalur-jalur cukup. Bahwa hidup sudah lengkap dengan rasa penerimaan apapun yang terjadi. Menerima jatah. Bahwa jiwa hanya perlu didekapi lebih mesra, dibincangi dengan lebih sering, maka akan terasa lengkap, genap.
 Mungkin ada yang beranggapan jiwa harus berpasangan agar lengkap. Genap. Tapinya nyatanya Tuhan menciptakan kita sebagai manusia tunggal yang pastinya mengandung pesan bahwa kita sudah lengkap. Mungkin pasangan, sahabat, keluarga, orang lain hadir di sekitar kita untuk berbagai kelengkapan, kegenapan, ke”penuh”an, ke”cukup”an.
Kita “lengkap” di saat sendirian, dan kita pun merasa “lengkap” saat bersama orang-orang yang dihadirkan Tuhan dalam hidup kita.
Cukup.
Mari belajar hidup dengan berkecukupan, dan entah mengapa Tuhan rasanya lebih sering memberikan “kelimpahan-kelimpahan”.
Selamat menikmati kelimpahan hidupmu, kawan.


Salam hangat di musim gugur Glasgow. 4 Oktober 2013.